Selasa, 13 November 2012

ROCK masih punya INDONESIA


Awal Juli beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain Semarang, Jogya dan Surabaya dilanda bahana  musik rock yang diselenggarakan secara sama-sama oleh  God Bless dan SAS grup yang dilengkapi oleh bitang tamu  Ucok AKA.
Stadion Kridosono Yogya pada seputar pukul 19.30 itu mulai dimasuki oleh  “Rock Freaks” yang telah membeli tiket denngan harga cukup mahal untuk ukuran kota tersebut yakni Rp 2500,- dan Rp 1500,-
Jumlah penonton malam itu berdasarkan pengamatan dan hasil konfirmasi dengan panitia pelaksana dari karcis yang terjual tak kurang dari 10000 jumlahnya.
Dengan mengambil jarak yang cukup jauh diperkirakan sekitar 15 meter dari deretan kursi terdepan berdirilah sebuah panggung dengan tinggi sekitar dua setengah meter panjang 25 meter lebar 10 meter tanpa atap yang telah dipenuhi oleh peralatan


Alat-alat God Bless disebelah kiri  dan SAS di sebelah kanan, dari keseluruhan alat yang hadir di atas panggung terlihat bahwa ke dua grup ini siap tampil dengan “full power” untuk memuaskan  rock freak  Jogya tersebut. Perhatikan drumset milik God Bless yang diletakan di atas panggung mini yang sengaja dipasang dipanggung besar itu. Dengan alat hidraulik yang terpasang dibawah panggung mini itu maka drum set beserta drummernya siap dengan atraksi turun naik , sementara panggung mini itu beserta keseluruhannya itu terletak di antara kaki tiga  dari bambu yang tingginya kurang lebih 10 meter dan puncaknya meny\impan kertas kecil warna-warni yang akan menyebar ke bawah dan akan menjadi indah karena sorotan lampu. Dari sini nampak bahwa God Bless selain hendak unjuk gigi dengan musiknya, juga siap membumbui dengan trick2 memikat minimal dari sektor drum dan  kepulan dry ice/.
Bagaimana dengan SAS ? Mereka nampaknya tidak berkepentingan dengan hal-hal berbau trick, tapi lebih siap dalam pengadaan alat. Misalnya terlihat dari dudukan lightingnya yang permanen. Dengan tiang yang terbuat dari pipa pralon yang bisa distel tinggi rendahnya. Dudukan tersebut dipasang di kanan kiri panggung wilayahnya yang masing-masing memuat tak kurang dari 24 lampu spot dan tiga buah blitz, sedangkan di belakang drum set dudukan itu memuat 16 lampu spot. Jadi total ada 64 buah lampu spot di sana. God Bless sendiri memasang lampu tidak pada dudukan yang permanen melainkan membuat dudukan darurat dari bambu yang dipasang di kanan kiri dan belakang panggung wilayahnya dan dibuat lebih tinggi dari dari dudukan punya SAS. Untuk soundpun demikian pula. SAS mempergunakan satu jenis merek untuk penampilannya itu, yaitu Lasika, sedangkan God Bless walaupun pada uji coba suaranya bisa dipertanggung  jawabkan, nampak kurang sreg dengan model menggusur berbagai macam merek  sound luar negeri yang digabung-gabung macam itu.

Atraktif
            Tanpa basa-basi  SAS yang terdiri dari Sunatha Tanjung pada gitar, Artur pada bas dan Syeh Abidin pada drums bersamaan dengan kelip kebyarnya lampu sorot menggebrak  panggung dengan isntrumental rock yang tidak keruan juntrungan pada awalnya. Penonton baru terhentak ketika Sun dengan gayanya yang khas menguak kedua kakinya meletakan ujung badan gitarnya diselangkangannya, sementara ujung yang lain menghadap ke atas mengarahkan nada-nada tegar yang dipetiknya menjadi lagu Garuda Pancasila. Dan Arthur mengimbanginya dengan gerakan yang tak kalah luwesnya dengan Sun yang kesemuanya itu membentuk atraksi duet yang menawan ditengah lagu Garuda Pancasila yang tampak gagah dengan aransemen semacam itu.
Gaya macam itulah yang sering diperlihatkan oleh SAS di atas panggung. Ada kalanya Arthur dan Sun berdiri sejajar didepan mike untuk mengucapkan liryc lagu, namun begitu selesai dengan urusan liryc, kembalilah mereka pada gaya semula. Hal ini terjadi pada lagu kedua dan ketiga misalnya yang masih sejenis dengan lagu pertama dalam nada yaitu rock model Jimi Hendrix. Baru pada lagu keempat mereka menguak cakrawala baru ketika  Arthur berucap : “Untuk lagu selanjutnya akan kami bawakan sebuah lagu  dari Emerson Lake & Palmer. Untuk itu kami akan berganti formasi, saya pada keyboard dan Sun pada bas.
            Maka bergemalah Picture At Exhibition dari versi live  dari ELP  ketika mereka mengadakan  pertunjukan di Olympic Stadium Montreal di tahun 1979. Nomor ini bercorak klasik rock, panjang lagu lewat dari 10 menit dan berkesan mewah terutama lewat bunyi-bunyian keyboard yang mengangsur warna okestrasi. Namun eksistensi rocknya tetap terjaga baik  lewat bunyi-bunyian keyboard yang kerap melejit dari warna orkestrasi  menjadi agresif  ataupun dentuman bas dan gebukan drum di sana sini serta vokal Arthur yang lantang. Dan Arthur sempat mengembara dengan keyboardnya di sini, keluar dari jalur lagu dan menyodorkan sebuah lagu jazz “Take A Five” yang mendapat Applaus dari penonton.
            Usai dengan lagu ini, dengan tidak mempedulikan tetesan hujan SAS kembali pada formasi pertama dan Arthur dengan bas ditangan mencoba memancing reaksi penonton sebelum membawakan lagu “Stairway To Heaven”  dari Led Zeppelin. Dan mendapat reaksi positif sekali dari penonton. Lagu ini kemudian ditiru persis dengan versi live show Led Zeppelin di Madison Square Garden  New York pada tahun 76 sampai ke improve-improve  dari Robert Plant dan suara centil-centilnya juga digusur oleh Arthur yang  juga bertindak  sebagai vokalis.
            Selanjutnya adalah bagian Ucok AKA yang ditampilkan. Veteran Underground tahun 70 an ini membawakan sebuah lagu blues dengan menyebar gaya urakan sejak awal hadir di atas panggung dan gaya tersebut kerap terkesan over acting, seronok kadang kala jorok walaupun dengan itu ia semua membuat ia bisa berkomunikasi dengan penonton.

Hujan Lebat
            Karn Evil 9 First Impresion dari ELP adalah nomor selanjutnya dari SAS. Pada lagu ini Arthur kembali sibuk dengan keyboardnya dan jika pada nomor ELP sebelumnya ia sempat menyelipkan lagu Take A Five maka yang digusur kali ini adalah lagu Es Lilin dan Gambang Suling yang mendapat aplaus hangat dari penonton. Usai dengan solo keyboard, masih pada lagu yang sama  Arthur berpindah pada bas dan Sun pada gitar kembali yang selanjutnya menyodorkan solo bas yang memikat dari Arthur.
            Dengan gaya mencabik, mendentum, memukul dengan jari tangannya  bagian yang seharusnya dipetik ternyata tidak hanya mengundang penonton untuk bertepuk tangan, tapi juga mengundang hujan makin lebat.
            Dan hujan betul-betul menjadi lebat ketika bagian Arthur bersolo gitar. Ia nampak angker sekali dengan gaya berdiri dengan kaki terpentang dengan tangan sibuk memperlihatkan kemahirannya sementara hujan mendera tubuhnya dari langit dengan keras. Di bagian solo drum Syehpun penonton melihat pemandangan yang tak kalah menarik, yakni stick ditangannya tampak berlomba-lomba denngan air hujan menyentuh bagian-bagian yang harus dipukulnya, karena sinar lampu yang dipanggung tinggal 16 lampu spot yang  ada pas dibelakang drumset, teknisi mereka tidak mau ambil resiko memainkan lighting dalam suasana seperti itu.
            Sedangkan reaksi penonton ketika hujan menjadi bertambah lebat  tak kalah menariknya. Mereka bukannya menghindar tapi malah mendekati bibir panggung dan uniknya banyak di antara mereka yang mempergunakan kursi tempat duduk sebagai pelindung kepala dari hujan dengan cara membalikan kursi tersebut dan meletakan di atas kepala mereka. Hal yang sebetulnya tidak berarti banyak dalam melindungi tubuh mereka dari curah hujan. Tapi mereka rupanya tidak peduli, mulut merka tak henti-hentinya berteriak-teriak,  “terus, teus.” Sedangkan kursi (tangan) diacung-acungkan mengikut\i irama.
            Dan SASpun ternyata sudah kepalang basah dengan mengabaikan resiko yang cukup besar, yakni konsletnya alat-alat listrik yang melingkari mereka, maka usai Karn Evil 9 yang dibawakan seolah-olah tidak ada hujan itu, secara nonstop menggabungkan dengan lagu Superstar dari album Jesus Christ Superstar yang mendapat sambutan sama meriahnya baik dari hujan maupun dari penonton.
            Selesai Superstar kembali dipanggil Ucok AKA yang sebelum bernyanyi sempat mengajak penonton mengikuti hentakan intro musik lagu yang hendak dibawakannya. “Mari kita bertepuk tangan sambil sama-sama mandi,” katanya. Dan sebuah nomor rock hangat dihidangkan oleh Ucok, cukup panjang dan komunikatif hingga banyak di antara penonton yang menghentak-hentak badannya sepanjang lagu.

 Lagu dari Ucok sekaligus menjadi akhir dari show SAS. Dan mereka agak sulit meninggalkan panggung karena didesak untuk bermain terus oleh penonton. Tapi Ucok yang terakhir meninggalkan panggung dengan pandai mengalihkan penonton walaupun untuk itu dia harus menyudutkan rival mainnya. “Udah, kami udah dulu. Band sebelah mau main,” katanya berulang-ulang sambil menunjuk peralatan milik God Bless.
            Dan kenyataannya God Bless tak pernah main malam itu, walau mereka menyatakan siap main biar sampai pagipun daripada main dibawah hujan lebat macam itu karena, “Alat-alat kami banyak yang konslet, “ kata Ahmad Albar.
            Sayang memang duel meet antara dua grup super rock yang diharapkan menggelegar itu ternyata tidak terpenuhi. GB terpaksa mengaku kalah oleh curahan hujan. Tapi yang penting, toh masyarakat Indonesia masih merindukan show musik hingar bingar macam ini. Setelah kedua supergrup ini terkubur oleh berdayut-dayutnya musik yang meratap-ratap—mereka masih bisa muncul dengan sambutan luar biasa. Jadi tidak ada alasan untuk grup-grup rock untuk menggantungkan gitarnya dan beralih kejenis\ musik yang seirama dengan selera sebagian masyarakat yang justru diarahkan oleh para cukong rekaman.